Defenisi Mandi Janabah
Definisi Mandi :
Al-Ghuslu
(Mandi) secara bahasa adalah kata yang tersusun dari tiga huruf yaitu
ghain, sin dan lam untuk menunjukkan sucinya sesuatu dan bersihnya.
(Lihat Mu'jam Maqayis Al-Lughoh 4/424).
Al-Ghuslu adalah
mengalirnya air pada sesuatu secara mutlak. (Lihat : As-Shihah
5/1781-1782, Lisanul 'Arab 11/454, Mufradat Al-Ashfahany hal. 361 dan
AN-Nihayah Fii Ghoribul Hadits 3/367).
Dan Al-Ghuslu secara
istilah adalah menyiram air ke seluruh badan secara khusus. (Lihat
Ar-Raudh Al-Murbi' 1/26, Mu'jam Lughatul-Fuqaha` : 331 )
Kata Ibnu Hajar : Hakikat mandi adalah mengalirkan air pada anggota-anggota tubuh.( Lihat: Fathul Bary :1/359)
Definisi Janabah :
Janabah secara bahasa adalah Al-Bu'du (yang jauh). Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
وَالْجَارِ الْجُنُبِ
"Dan tetangga yang junub (jauh)". (QS. An-Nisa` : 36)
Dan juga dalam firman-Nya yang Maha agung :
فَبَصَرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لاَ يَشْعُرُوْنَ
"Maka Ia (saudara perempuan Nabi Musa) melihatnya dari junub (jauh) sedangkan mereka tidak mengetahuinya". (QS. Al-Qoshash : 11)
Adapun
secara istilah adalah orang yang wajib atasnya mandi karena jima' atau
karena keluar mani. (Lihat : Al-I'lam 2/6-9, Ihkamul Ahkam 1/356 dan
Tuhfatul Ahwadzy 1/349)
Hukum Mandi Janabah
Mandi Janabah adalah wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma'.
Adapun dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبٍا فَاطَّهَّرُوْا
"Dan jika kalian junub maka mandilah". (QS. Al-Ma`idah : 6)
Dan juga Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
وَلاَ جُنُبٍا إِلاَّ عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوْا
"Dan
jangan pula (dekati sholat) sedang kalian dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi". (QS. An-Nisa` :
43)
Adapun dari sunnah, akan datang beberapa hadits dalam pembahasan yang menunjukkan tentang wajibnya mandi janabah.
Adapun Ijma' telah dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim 3/220.
Hal-hal yang mewajibkan mandi
Berikut ini beberapa perkara yang apabila seorang muslim melakukannya maka wajib atasnya untuk mandi.
Satu : Keluarnya mani dengan syahwat.
Baik
pada laki-laki atau perempuan, dalam keadaan tidur maupun terjaga. Dan
para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mandi dengan keluarnya
mani, sebagaimana yang dinukil oleh Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thobary
sebagaimana dalam Al-Majmu' 2/158, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma' hal.
21, An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim 4/36 dan Imam Asy-Syaukany
dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/47.
Dan ada beberapa dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut, diantaranya :
1. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, beliau berkata :
جَاءَتْ
أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِيْ
مِنَ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ الْغُسْلِ إِذَا هِيَ
احْتَلَمَتْ ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ : نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
"Ummu Sulaim datang
kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam kemudian
berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran,
maka apakah wajib atas seorang wanita untuk mandi bila dia bermimpi ?.
Maka Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam menjawab : Iya
bila ia melihat air (mani-pen.)" (HSR. Bukhary-Muslim).
Sisi
pendalilannya : sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam mewajibkan mandi kepada wanita jika keluar air (mani-pen) dan
hukum terhadap laki-laki sama. (Lihat Fathul bary :1/462, Ihkamul ahkam :
1/100)
2. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
"Air itu hanyalah dari air". (HSR. Bukhary-Muslim).
Maksud
dari air yang pertama adalah air untuk mandi wajib sedangkan air yang
kedua adalah air mani, maka maknanya adalah air untuk mandi itu wajib
karena keluarnya air mani.
Faedah :
1.
Kalau seorang mimpi tetapi tidak mendapati mani, maka tidak wajib mandi
menurut kesepakatan para ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu Mundzir
dalam kitabnya; Al-Ijma' (34) dan Al-Ausath 2/83. Dan lihat pula
Al-Majmu' 2/162.
2. Kalau seseorang terjaga dari tidur
kemudian dia mendapatkan cairan dan tidak bermimpi maka dia wajib mandi,
karena hadits Aisyah radhiyallhu 'anha beliau berkata :
سُئِلَ
رَسُوْلُ اللهِ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ بَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ إِحْتِلاَمًا
قَالَ : يَغْتَسِلُ. وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهً قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ
يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ : لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ
"Rasulullah
ditanya tentang seseorang yang mendapatkan bekas basahan dan dia tidak
menyebutkan bahwa dia mimpi, beliau menjawab : Wajib mandi. Dan (beliau
juga ditanya) tentang seseorang yang menganggap bahwa dirinya mimpi
tapi tidak mendapatkan basahan, beliau menjawab : Tidak wajib atasnya
untuk mandi". (HR. Abu Daud no. 236, At-Tirmidzy no. 112 dan Ibnu Majah
no. 612 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy).
Dan juga dalam hadits Ummu salamah di atas :
فَقَالَ: نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
"(Rasulullah) menjawab : " Iya bila ia melihat air (mani-pen.)".
3. Kalau keluar mani tanpa syahwat seperti karena kedinginan atau sakit maka tidak wajib mandi.
Hal ini berdasarkan Hadits 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu :
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ فَإِذَا لَمْ تَكُنْ
حَاذِفًا فَلاَ تَغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا رَأَيْتَ فَضْحَ
الْمَاءِ فَاغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا فَضَحْتَ الْمَاءَ
فَاغْتَسِلْ.
"Sesungguhnya Rasulullah shollallahu 'alaihi wa
'ala alihi wa sallam bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat)
maka mandilah dari janabah dan jika tidak, maka tidak wajib mandi. Dan
dalam lafazh yang lain : "Jika kamu melihat mani yang memancar dengan
kuat maka mandilah". Dan dalam lafazh yang lain : "Jika kamu memancarkan
mani dengan kuat maka mandilah". (HR. Ahmad 1/107, 109, 125, Abu Daud
206 dan An-Nasa`i 1/93 dan dishohihkan oleh Ahmad Syakir dan Syeikh
Al-Albany rahimahumullah dalam Al-Irwa` 1/162).
Sisi
pendalilan : Yaitu Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
dalam hadits ini mensyaratkan فَضْحُ الْمَاءِ untuk wajibnya mandi
sedangkan فَضْحٌ adalah keluarnya air dengan kuat.
Kata
Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab : 3/46 فَضْحُ الْمَاءِ adalahدَفْقُهُ
(memancar). Dan kata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/267 : اَلْفَضْحُ
خُرُوْجُهُ عَلَى وَجْهِ الشِّدَّةِ(Keluarnya air mani dengan cara yang
kuat).
Ini menunjukkan bahwasanya jika mani keluar tidak
dengan syahwat maka tidak wajib mandi, sebab mani itu dapat keluar
dengan kuat dan memancar dan hal tersebut tidaklah terjadi kecuali
kalau keluarnya dengan syahwat. Ini adalah pendapat Jumhur, Abu Hanifah,
Malik dan Ahmad dan dikuatkan oleh Ahli Fiqh zaman ini Syeikh Ibnu
'Utsaimin rahimahumullah. (Lihat : Nailul Authar 1/258 dan Asy-Syarah
Al-Mumti' 1/386-387.)
Dua : Bertemunya dua khitan (kemaluan) walaupun tidak keluar mani.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا
جَلَسَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ شُعُبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ
وَجَبَ الْغُسْلُ وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
"Apabila
seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan) kemudian ia
bersungguh-sungguh[1] maka telah wajib atasnya mandi. Dan salah satu
riwayat dalam Shohih Muslim "walaupun tidak keluar". (HSR.
Bukhary-Muslim)
Kata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shohih
Muslim 4/40-41 : Makna hadits ini bahwasanya wajibnya mandi tidak
terbatas hanya pada keluarnya mani, tetapi kapan tenggelam kemaluan
laki-laki dalam kemaluan wanita maka wajib atas keduanya untuk mandi.
Kata
Imam Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 2/6 : Dan kebanyakan ulama beramal
dengan hadits ini demikian pula yang datang sesudahnya, bahwa siapa
yang menggauli istrinya pada kemaluannya maka wajib mandi atas keduanya
walaupun tidak keluar mani.
Faedah :
Adapun
hadits Abu Sa'id sebelumnya yang membatasi mandi hanya ketika keluar
mani adalah hadits yang telah dimansukh (terhapus) hukumnya dalam jima'
oleh hadits Abu Hurairah ini dengan konteks lafazh yang tegas "walaupun
tidak keluar".
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : Adapun
hadits "Air itu hanyalah dari air", jumhur shahabat dan yang setelah
mereka menyatakan bahwa ia telah dimansukh dan mansukh yang mereka
maksudkan adalah bahwa mandi karena melakukan jima tanpa keluar mani
telah gugur (hukumnya) dan kemudian menjadi wajib. (Lihat Syarah Muslim
4/36).
Dan hal ini diperjelas oleh Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu :
إِنَّمَا كَانَ الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ رُخْصَةً أَوَّلَ الْإِسْلاَمِ ثُمَّ أُمِرْنَا بِالْإِغْتِسَالِ بَعْدُ
"Sesungguhnya
mandi dengan keluarnya air mani adalah rukhshoh (keringanan) pada awal
Islam kemudian kami diperintahkan untuk mandi sesudah itu" (HR. Ahmad
5/115-116, Abu Daud no. 215, At-Tirmidzy no. 111 dan beliau berkata :
Hadits ini Hasan Shohih. Dan dishohihkan oleh Imam An-Nawawy dalam
Al-Majmu' 2/155 dan Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy 1/34 dan Syeikh
Muqbil dalam Al-Jami' Ash-Shohih 1/541).
Kata Ibnu Mundzir :
Ini adalah pendapat semua orang yang kami hafal darinya dari ahli fatwa
dari ulama-ulama negeri dan saya tidak mengetahui sekarang adanya
khilaf dikalangan ahli ilmu. (Al-Ausath 2/81)
Tiga : Perempuan yang suci dari Haid dan Nifas.
Adapun haid, dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Firman Allah Ta'ala
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
"Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada kalian ". (QS. Al-Baqarah : 222).
Kata
Imam An-Nawawy : Sisi pendalilan dari ayat adalah bolehnya suami
menjima' isteri-isterinya (atau budaknya) dan tidaklah boleh yang
demikian kecuali dengan mandi, dan apa-apa yang tidak sempurna kewajiban
kecuali dengannya, maka perkara itu wajib. Al-Majmu' 2/168.
b. Hadits 'Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :
إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّي
"Jika waktu haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah dan sholatlah". (HR. Bukhary-Muslim).
c. Ijma'
Kata
Imam An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi karena
sebab haid dan sebab nifas dan di antara yang menukil ijma' pada
keduanya adalah Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir dan selainnya (Majmu'
2/168).
Kata Ibnu Qudamah : tidak ada khilaf tentang wajibnya mandi karena haid dan nifas (Al-Mughny 1/277).
Dan Ibnu Hazm juga menukil ijma' dalam Maratibul Ijma' : 21, dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/48.
Adapun
Nifas, dalilnya adalah Ijma' sebagaimana telah dinukil oleh An-Nawawy
dan Ibnu Qudamah diatas, juga telah dinukil ijma' oleh Ibnu Mundzir
dalam Al-Ausath 2/248.
Kata Ibnu Qudamah : Nifas sama dengan
haid karena sesunguhnya darah nifas adalah darah haid, karena itu
ketika seorang wanita hamil maka dia tidak haid sebab darah haid
tersebut dialihkan menjadi makanan janin. Maka tatkala janin tersebut
keluar, maka keluar juga darah karena tidak ada pengalihannya maka
dinamakan nifas. (Lihat Al-Mughny: 1/277).
Kata Asy-Syirazy :
Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena sesungguhnya itu adalah
haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan jima' dan gugur kewajiban
sholat maka diwajibkan mandi seperti haid (lihat Al-Majmu': 2/167)
Empat : Orang kafir yang masuk Islam.
Apakah
dia kafir asli atau murtad, ia telah mandi biasa sebelum islamnya atau
tidak, didapatkan darinya pada zaman kekafirannya apa-apa yang
mewajibkan mandi atau tidak.
Dalil-dalilnya :
a.
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh
Bukhary-Muslim tentang kisah Tsumamah bin Utsal radhiyallahu 'anhu yang
sengaja mandi[2] kemudian menghadap kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa
'ala alihi wa sallam untuk masuk Islam. b. Hadits Qois bin A'shim
radhiyallahu 'anhu :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أُرِيْدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِيْ أَنْ
أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
"Saya mendatangi Nabi
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam untuk masuk Islam maka Nabi
memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan daun bidara". (HR.
Ahmad 5/61, Abu Daud no. 355, An-Nasa`i 1/91, At-Tirmidzy no. 605 dan
dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih At-Tirmidzy 1/187).
Sisi
pendalilannya : bahwasanya ini adalah perintah dari Nabi shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Dan asal dari perintah menunjukkan
hukum wajib kecuali kalau ada dalil lain yang menurunkan derajatnya.
Wallahu A'lam.
Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, Malik, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Asy-Syaukany, dan lain-lainnya.
Lihat Al-Mughny 1/275, As-Sailul Jarrar 1/123, Ma'alim As-Sunan 1/252 dan lain-lain.
Lima : Meninggal (mati)
Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.
Adapun dalil-dalilnya :
(1)
Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang orang yang jatuh dari
ontanya dan meninggal, Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
bersabda :
اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْنِ.
"Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua baju". (HR. Bukhary-Muslim).
(2) Hadits Ummu 'Athiyah tatkala anak Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam meninggal, beliau bersabda :
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
"Mandikanlah
dia tiga kali atau lima atau tujuh atau lebih jika kalian melihatnya
dengan air dan daun bidara". (HR. Bukhary-Muslim).
Tata Cara (Sifat Mandi)
Tata cara mandi junub terbagi atas 2 cara :
1) Cara yang sempurna/yang terpilih.
2) Cara yang mujzi` (yang mencukupi/memadai)
(Lihat Al-Mughny :1/287, Al-Majmu' : 2/209, Al-Muhalla: 2/28, dan lain-lain.)
Faedah:
Kata
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : batasan antara cara yang sempurna
dengan yang cukup adalah apa-apa yang mencakup wajib maka itu sifat
cukup, dan apa-apa yang mencakup wajib dan sunnah maka itu sifat
sempurna. (Lihat As-Syarh Al-Mumti' : 1/414).
Adapun tata cara yang mujzi` :
1. Niat.
Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"sesungguhnya
amalan-amalan itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang
sesuai dengan apa yang dia niatkan”. (HR. Bukhary-Muslim dari 'Umar bin
Khaththab radhiyallahu 'anhu)
Faidah :
a. Kata
Ibnu Abdil Bar : Pendapat yang shohih (benar) adalah tidak sah thoharah
(bersuci) kecuali dengan niat dan maksud, karena sesungguhnya
kewajiban-kewajiban tidaklah bisa ditunaikan kecuali bermaksud
menunaikannya dan tidak dinamakan pelaku yang hakiki (sesungguhnya)
kecuali ada maksud darinya untuk perbuatan tersebut dan mustahil
seseorang akan menunaikan sesuatu yang tidak dia maksudkan untuk
menunaikannya dan berniat untuk mengerjakannya. (At-Tamhid 2/283)
b. Kata Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah : Niat itu ada dua :
Pertama
: Niat untuk mengamalkan suatu amalan dan itulah yang dibicarakan oleh
para fuqaha` karena niat itu yang menshohihkan amalan.
Kedua
: Niat untuk siapa amalan ditujukan dan inilah yang dibicarakan oleh
ulama Tauhid karena hal tersebut berkaitan dengan keikhlasan.
Misalnya
: ketika seorang ingin mandi (junub-pent) dia berniat mandi, maka
inilah yang dinamakan niat amalan. Akan tetapi jika dia berniat mandi
untuk mendekatkan diri kepada Allah karena ta'at kepadanya, maka inilah
yang dinamakan niat untuk siapa amalan itu ditujukan, yaitu mencari
wajah-Nya yang Maha Suci. Dan yang terakhir ini yang kebanyakan diantara
kita lalai darinya, kita tidak menghadirkan niat untuk taqarrub
(mendekatkan diri). Kebanyakan kita mengerjakan ibadah karena kita
diharuskan untuk melaksanakannya, maka kita meniatkannya untuk
menshohihkan amalan, maka ini adalah kekurangan. Oleh karena itu Allah
Ta'ala berfirman tatkala menyebutkan amalan :
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى
"Kecuali mencari wajah Rabbnya yang Maha Tinggi ".( QS. Al-Lail : 20 )
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ
"Dan orang-orang yang sabar mencari wajah Rabb mereka ". (QS. Ar-Ra'du : 22)
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
"Mencari keutamaan dari Allah dan ridho-Nya" . (QS. Al-Hasyr : 8)
(Lihat : Syarh Mumti' 1/417).
2. Menyiram kepala sampai ke dasar rambut dan seluruh anggota badan dengan air.
Dalil-dalilnya :
1) Firman Allah Ta'ala :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
"Dan jika kalian junub maka bersucilah". (QS. Al-Ma`idah : 6).
Kata
Ibnu Hazm : Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi-Pent) maka dia
telah menunaikan kewajibannya yang Allah wajibkan padanya (Lihat
Al-Muhalla : 2/28)
2) Hadits Jubair bin Muth'im radhiyallahu 'anhu :
قَالَ
تَذَاكَرْنَا غُسْلَ الْجَنَابَةِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَمَا أَنَا فَيَكْفِيْنِيْ
أَنْ أُصُبُّ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفِيْضُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ
جَسَدِيْ.
"Kami (para shahabat) saling membicarakan tentang
mandi junub di sisi Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
maka beliau berkata : Adapun saya, cukup dengan menuangkan air di atas
kepalaku tiga kali kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh
badanku". (HR. Ahmad dan dishohihkan oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu'
2/209 dan asal hadits ini dalam riwayat Bukhary-Muslim).
3). Dari 'Imran bin Husain radhiyallahu 'anhu, riwayat Bukhary-Muslim dalam hadits yang panjang, beliau berkata :
وَكَانَ آخِرَ ذَاكَ أَنْ أَعْطِيَ الََّذِيْ أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ فَقَالَ : إِذْهَبْ فَافْرُغْهُ عَلَيْكَ
"Dan
yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang
yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda : Pergilah dan
tuangkanlah atas dirimu air itu ".
Kata Syeikh Ibnu
'Utsaimin rahimahullah : "Dan Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam tidak menjelaskan bagaimana cara menuangkan air kepada dirinya.
Seandainya mandi itu wajib sebagaimana tata cara mandinya Rasulullah
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam (yang sempurna-pent.),
tentunya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam menjelaskan
kepada orang tersebut, karena mengakhirkan penjelasan pada saat
dibutuhkan adalah tidak boleh". (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti' :1/424).
Adapun sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna :
Yang
menjadi pokok pendalilan sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna
ada dua hadits, yaitu hadits Aisyah dan hadits Maimunah radhiyallahu
'anhuma.
Satu : Sifat mandi junub dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha.
Lafazh hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha adalah sebagai berikut :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا
اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ -وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ
ثُمَّ يَفْرُغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- ثُمَّ
تَوَضَّأَ وُضُوْئَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُخَلِّلًُ بِيَدَيْهِ شَعْرَهُ
حَتَى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ
الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
"Bahwasanya
Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam kalau mandi dari
janabah maka beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya
–dalam riwayat Muslim, kemudian beliau menuangkan (air) dengan tangan
kanannya keatas tangan kirinya lalu beliau mencuci kemaluannya- kemudian
berwudhu sebagaimana wudhunya untuk sholat kemudian memasukkan
jari-jarinya kedalam air kemudian menyela dasar-dasar rambutnya sampai
beliau menyangka sampainya air kedasar rambutnya kemudian menyiram
kepalanya dengan kedua tangannya sebanyak tiga kali kemudian beliau
menyiram seluruh tubuhnya. (HR. Bukhary-Muslim).
Dalam
hadits diatas tidak disebutkan pensyaratan niat, namun itu tidaklah
berarti gugurnya pensyaratan niat tersebut karena telah dimaklumi dari
dalil-dalil lain menunjukkan disyaratkannya niat itu dan telah kami
sebutkan sebagaian darinya dalam pembahasan diatas.
Maka dari hadits 'Aisyah diatas dapat disimpulkan sifat mandi junub sebagai berikut :
1. Mencuci kedua telapak tangan.
Dan
ada keterangan dalam saah satu riwayat Muslim dalam hadits 'Aisyah ini
bahwa telapak tangan dicuci sebelum dimasukkan ke dalam bejana.
2. Menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya.
3. Kemudian berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat.
4.
Kemudian memasukkan kedua tangan kedalam bejana, kemudian menciduk
air dari satu cidukan dengan kedua tangan tadi, kemudian menuangkan air
tadi diatas kepala. Kemudian memasukkan jari-jari diantara
bagian-bagian rambut dan menyela-nyelainya sampai ke dasar rambut di
kepala.
5. Kemudian menyiram kepala tiga kali dengan tiga kali cidukan.
Dan diterangkankan dalam hadits 'Aisyah riwayat Muslim :
كَانَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا
اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلاَبِ فَأَخَذَ
بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ
فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ.
"Adalah Nabi shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bila mandi dari junub, maka beliau
meminta sesuatu (air) seperti Hilab (semacam kantong yang dipakai untuk
menyimpan air susu yang diperah dari binatang), kemudian beliau
mengambil air dengan telapak tangannya maka beliau memulai dengan bagian
kepalanya sebelah kanan kemudian yang kiri, kemudian beliau (menuangkan
air) dengan kedua tangannya diatas kepalanya".
6. Kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.
Beberapa Catatan
µ Hendaknya memulai dengan anggota-anggota badan bagian kanan
Dalil-dalilnya :
1. Hadits 'Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :
كَانَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ
التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي شَأْنِهِ
كُلِّهِ
"Adalah Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam menyenangi yang kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci
dan dalam seluruh perkaranya".
2. Hadits 'Aisyah juga yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary :
كَناَ
إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةُ أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا
فَوْقَ رَأْسِهِ ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدَيْهَا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ
وَبِيَدِهَا الْأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الْأَيْسَرِ
"Kami (istri-istri Nabi-Pent) jika salah seorang diantara kami junub,
maka dia mengambil dengan kedua tangannya tiga kali diatas kepalanya
kemudian mengambil dengan salah satu tangannya diatas bagian kepalanya
yang kanan dan tangannya yang lainnya diatas bagian kepalanya yang
kiri."
(Lihat: Al-Mughny: 1/287, Al-Majmu': 2/209, At-Tamhid: 2/275,dan lain-lainnya)
µ Dalam riwayat Muslim ada tambahan dalam hadits 'Aisyah dengan lafazh :
فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا
"Maka beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali".
Tambahan
"tiga kali" dalam hadits diatas dikritik oleh Imam Abul Fadhl Ibnu
'Ammar sehingga beliau menganggap bahwa tambahan tersebut ghairu mahfuzh
(tidak terjaga) atau dengan kata lain sebagai tambahan yang lemah tidak
bisa dipakai berhujjah. Dan kritikan tersebut dikuatkan pula oleh Ibnu
Rajab rahimahullah.
Lihat : 'Ilalul Ahadits Fii Kitab
Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal. 69-72 karya Abul Fadhl Ibnu 'Ammar
dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah Shohih
Al-Bukhary 1/234 karya Ibnu Rajab (cet. Dar Ibnul Jauzy)
µ Ada tambahan lain dalam hadits 'Aisyah juga riwayat Muslim, lafazhnya sebagai berikut :
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
"Kemudian beliau mencuci kedua kakinya".
Tambahan
diatas juga dilemahkan oleh Abul Fadhl Ibnu 'Ammar dengan alasan bahwa
Abu Mu'awiyah bersendirian dalam meriwayatkannya dari Hisyam. Sedangkan
sedangkan murid-murid hisyam lainnya tidak yang meriwayatkannya, seperti
Za`idah, Hammad bin zaid, Jarir, Waki', 'Ali bin Mushir dan
lain-lainnya. Dan Imam Muslim sendiri telah memberikan isyarat bahwa
tammbahan itu adalah lemah.
Lihat : 'Ilalul Ahadits Fii
Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal. 69-72 dengan tahqiq Ali bin
Hasan Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah Shohih Al-Bukhary 1/233-234
bersama ta'liq Thoriq bin 'Iwadhullah.
Kesimpulan Cara Mandi Dalam Hadits 'Aisyah
Mencuci
kedua telapak tangan sebelum dimasukkan ke dalam bejana, kemudian
menuangkan air dengan tangan kanan keatas tangan kiri lalu mencuci
kemaluan, lalu berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu
untuk sholat, kemudian memasukkan kedua tangan kedalam bejana, lalu
menciduk air dari satu cidukan lalu menuangkan air tadi diatas kepala
dan menyela-nyelai rambut sampai ke dasar kepala, kemudian menyiram air
kesemua bagian tubuh.
Dua : Sifat mandi junub dalam hadits Maimunah radhiyallahu 'anha.
Adapun cara yang kedua :
Lafazh hadits Maimunah bintul Harits radhiyallahu 'anha adalah sebagai berikut :
وَضَعْتُ
لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَضُوْءَ
الْجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى يَسَارِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالأَرْضِ أَوِ
الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ
غَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهُ الْمَاءَ
ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ
فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ
بِيَدَيْهِ.
"Saya meletakkan untuk Rasulullah shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam air mandi janabah maka beliau menuangkan
dengan tangan kanannya diatas tangan kirinya dua kali atau tiga kali
kemudian mencuci kemaluannya kemudian menggosokkan tangannya di tanah
atau tembok dua kali atau tiga kali kemudian berkumur-kumur dan
istinsyaq (menghirup air) kemudian mencuci mukanya dan kedua tangannya
sampai siku kemudian menyiram kepalanya kemudian menyiram seluruh
tubuhnya kemudian mengambil posisi/tempat, bergeser lalu mencuci kedua
kakinya kemudian saya memberikan padanya kain (semacam handuk-pent.)
tetapi beliau tidak menginginkannya lalu beliau menyeka air dengan kedua
tangannya. (HR. Bukhary-Muslim).
Dalam sifat mandi junub riwayat Maimunah diatas berbeda dengan sifat mandi junub dalan hadits 'Aisyah pada beberapa perkara :
µ Dalam hadits Maimunah ada tambahan menggosokkan tangan ke tanah atau tembok.
µ Dalam hadits Maimunah tidak ada penyebutan menyela-nyelai rambut.
µ
Dalam salah satu riwayat Bukhary-Muslim pada hadits Maimunah ada
penyebutan bahwa kepala disiram tiga kali, namun tidak diterangkan cara
menuangkan air diatas kepala sebagaimana dalam hadits 'Aisyah.
µ
Juga riwayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada pengusapan kepala
dalam hadits Maimunah. Yang ada hanyalah menyiram kepala tiga kali.
µ
Dalam hadits Maimunah mencucikan kaki dijadikan pada akhir mandi
sedangkan dalam hadits 'Aisyah mencuci kaki ikut bersama dengan wadhu.
Catatan Penting
Syeikh
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa memang ada beberapa
perbedaan antara hadits 'Aisyah dan hadits Maimunah dan itu banyak
terjadi dalam beberapa 'ibadah yang dikerjakan oleh Nabi shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Yaitu beliau kerjakan 'ibadah tersebut
dengan bentuk yang berbeda-beda untuk menunjukkan kepada umat bahwa ada
keluasan dalam bentuk-bentuk 'ibadah tersebut. Sepanjang ada tuntunan
dalam Syari'at yang menjelaskan bentuk-bentuk 'ibadah tersebut maka
boleh dikerjakan seluruhnya atau dikerjakan secara silih berganti.
Demikian makna penuturan Syeikh Ibnu 'Utsaimin dalam kitab beliau
Tanbihil Afham bisyarhi 'Umdatil 'Ahkam 1/83.
Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Tata Cara Mandi Junub
1. Apakah disyariatkan menyela-nyelai jenggot
Para
Fuqoha` menyebutkan perkara ini dalam tata cara mandi junub, seperti
Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu' 2/209 dan Imam Ibnu Qudamah dalam
Al-Mughny 1/287. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar (At-Tamhid 2/278) didalam
hadits 'Aisyah didapatkan apa yang menguatkan pendapat yang
menyela-nyelai (jenggotnya-pent) karena ucapannya 'Aisyah :
فَيَدْخُلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُوْلَ الشَّعْرِ
"Maka
Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memasukkan
jari-jarinya ke dalam air kemudian menyela-nyelai dengan jari-jarinya
dasar-dasar rambut"
Menunjukkan umumnya rambut jenggot dan kepala walaupun yang paling nampak didalamnya adalah rambut kepalanya.
2.
Tata cara mandi janabah ini juga berlaku bagi perempuan dan tidak
ada perbedaan kecuali dalam hal membuka kepang rambutnya. Dan membuka
kepang rambut bagi perempuan tidaklah wajib bila air dapat sampai ke
pangkal rambut tanpa membuka kepangnya, sebagaimana dalam hadits Ummu
Salamah radhiyallahu 'anha :
إِنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا
رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشَدُّ ضَفْرِ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ
لِلْجَنَابَةِ ؟ قَالَ : لاَ، إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى
رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ
فَتَطْهُرِيْنَ.
"Sesungguhnya ada seorang perempuan bertanya
: wahai Rasulullah, sesungguhnya saya perempuan yang sangat keras
kepang rambutku apakah saya harus membukanya untuk mandi janabah ?
Rasulullah menjawab : Tidak, sesungguhnya cukup bagi kamu untuk
menyela-nyelai kepalamu tiga kali kemudian menyiram air diatasnya, maka
kamu sudah suci". (HSR. Muslim )
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ
عُمَيْرٍ قَالَ : بَلََغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو
يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ
فَقَالَتْ : يَا عَجَبًا لِاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا ! يَأْمُرُ النِّسَاءَ
إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ !! أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ
أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوْسَهُنَّ ؟ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا
وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ
أَفْرُغَ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ.
"Dari 'Ubaid
bin 'Umair, beliau berkata : telah sampai kepada 'Aisyah bahwasanya
Abdullah ibnu 'Amr memerintahkan para perempuan untuk membuka kepang
rambut bila mandi janabah. Maka 'Aisyah berkata : Alangkah mengherankan
Ibnu 'Amr ini, ia memerintahkan para perempuan untuk membuka kepang
rambutnya, kenapa dia tidak memerintahkan mereka untuk menggundul
rambutnya?. Sesungguhnya saya mandi bersama Rasulullah dari satu bejana
dan tidaklah saya menambah dari menyiram kepalaku tiga kali siraman".
(HSR. Muslim )
Berkata Imam Al-Baghawy : Mengamalkan hal
ini adalah pilihan semua Ahlul 'Ilmi bahwasanya membuka kepang rambut
tidak wajib pada mandi junub jika air bisa masuk ke pangkal rambutnya.
(Syarh Sunnah 2/18)
3. Adapun orang yang haid atau nifas, maka tata cara mandinya sama dengan mandi janabah kecuali dalam beberapa perkara :
a.
Disunnahkan baginya untuk mengambil potongan kain, kapas atau yang
sejenisnya kemudian diberi wangi-wangian/harum-haruman kemudian
dioleskan/digosokkan pada tempat keluarnya darah (kemaluannya) untuk
membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.
Hal ini didasarkan pada hadits 'Aisyah :
أَنَّ
امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ عَنْ الْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ فَقَالَ : خُذِيْ
فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهَّرِيْ بِهَا فَقَالَتْ : كَيْفَ أَتَطَهَّرُِ
بِهَا فَقَالَ : تَطَهَّرِيْ بِهَا ؟ قَالَتْ : كَيْفَ ؟ قَالَ :
سُبْحَانَ اللهُ تَطَهَّرِيْ. فَاجْتَذَبَتْهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ :
تَتَبَّعِيْ أَثَرَ الدَّمِ.
"Sesungguhnya ada seorang
perempuan datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
bertanya tentang mandi dari Haid. Maka Nabi menjawab ambillah secarik
kain yang diberi wangi-wangian kemudian kamu bersuci dengannya. Dia
bertanya lagi : Bagaimana saya bersuci dengannya?. Nabi shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam menjawab : Bersucilah dengannya . Dia
bertanya lagi bagaimana?. Nabi Menjawab : Subhanallah, bersucilah
dengannya. Kemudian akupun menarik perempuan itu ke arahku, kemudian
saya berkata : Ikutilah (cucila) bekas-bekas darah (kemaluan)". (HR.
Bukhary-Muslim)
Dan ini dilakukan sesudah selesai mandi
sebagaimana dalam hadits 'Aisyah bahwasanya Asma` bintu Syakal bertanya
kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam tentang mandi
Haid, maka Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam menjawab :
تَأْخُذُ
إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُوْرَ
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدْلِكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا حَتَى
يَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ
تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا. فَقَالَتْ أَسْمَاءُ :
وَكَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ الله تَطَهَّرِيْنَ
بِهَا. فَقَالَتْ عَائِشَةُ : كَأَنَّهَا تَخْفَى ذَلِكَ تَتَبَّعِيْنَ
أَثَرَ الدَّمِ.
"Hendaklah salah seorang di antara kalian
mengambil air dan daun bidara kemudian bersuci dengan sempurna kemudian
menyiram kepalanya dan menyela-nyelanya dengan keras sampai ke dasar
rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan air. Kemudian mengambil
sepotong kain (atau yang semisalnya-pent.) yang telah diberi
wangi-wangian kemudian dia bersuci dengannya. Kemudian Asma` bertanya
lagi : "Bagaimana saya bersuci dengannya?". Nabi menjawab :
"Subhanallah, bersuci dengannya". Kata 'Aisyah : "Seakan-akan Asma`
tidak paham dengan yang demikian, maka ikutilah (cucilah) bekas-bekas
darah (kemaluan)". (HSR. Muslim)
(Lihat Al-Majmu' 2/218, Al-Mughny 1/302, dll)
b. Disunnahkan pula untuk mandi dengan air dan daun bidara
sebagaimana hadist 'Aisyah diatas.c. Disunnahkan bagi wanita
untuk membuka kepang rambutnya, sebagaimana hadits 'Aisyah yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhary : أُنْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي
وَامْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ"Bukalah kepang rambutmu dan bersisirlah dan
tahanlah 'umrah kamu". Sisi pendalilannya : walaupun 'Aisyah disini
mandi untuk tahlil (untuk haji) bukan mandi haid tetapi tahlul (untuk
haji) disini mengharuskan dia untuk mandi karena mandi itu merupakan
sunnah untuk ihram dan dari situlah datang perintah mandi secara jelas
dalam kisah ini, sebagaimana diriwaatkan oleh Imam Muslim dari jalan Abi
Azzubair dari Jabir
فَاغْتَسِلِي ثُمَّ أَهَلِّي بِالْحَجِّ
”Maka mandilah dan tahallullah untuk haji"
Jadi kalau boleh baginya untuk bersisir dalam mandi ihram padahal hukum
mandinya hanya sunnah, maka bolehnya untuk mandi haid yang hukumnya
wajib adalah lebih utama.
Tetapi hukum membuka kepang rambut disini hanya sunnah tidak sampai wajib karena hadits Ummu Salamah :
قَالَتْ
: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِي امْرَأَةٌ أَشَدُّ ضُفْرِ رَأْسِي
أَفَاَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ ؟ قَالَ : لاَ وَفِي رِوَايَةٍ :
لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ
"Ummu Salamah bertanya : "Ya
Rasulullah, saya adalah perempuan yang sangat kuat kepang rambutku.
Apakah saya membukanya untuk mandi jenabah ?. Rasulullah menjawab :
"Tidak". Dan dalam salah satu riwayat : "Untuk mandi haid dan janabah".
(HSR. Muslim).
Dan Imam Bukhary membawakan bab : فقضى المرأة شعرها عند غسل المحيضWanita membuka kepang rambutnya ketika mandi dari haid.
Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Wallahu A'lam.
Periksa : Al-Majmu' 2/216, Al-Mughny 1/300, Fathul Bary 1/417 , dan Al-Muhalla 2/38
Kemudian dari sisi pandangan :
a.
Ketika mandi janabah tidak perlu membuka kepang rambut sebagai
kemudahan karena sering dilakukan, maka tentu memberatkan kalau harus
dibuka. Berbeda dengan mandi haid karena hanya dilakukan sekali sebulan
umumnya pada wanita normal.
b. Karena mandi janabah,
rentang waktu antara junubnya dengan mandinya lebih pendek dari mandi
haid, yang bisa menunggu sampai berhari-hari, maka untuk kesempurnaan
mandinya dan kesegarannya maka disyari'atkan dibuka kepang
rambutnya.Wallahu A'lam
4. Tidaklah makruh mengeringkan
badan dengan kain, handuk, tissu atau yang sejenisnya, karena tidak
adanya dalil yang menunjukkan hal tersebut, dan asalnya adalah mubah.
Tapi
tidaklah diragukan bahwa yang paling utama adalah membiarkannya tanpa
dikeringkan berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma riwayat
Bukhary-Muslim :
أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ فَخَرَجَ عَمَرُ فَقَالَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ رَقَدَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ وَرَأْسُهُ
يَقْطُرُ مَاءً يَقُوْلُ : لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ أَوْ
عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِهَذِهِ الصَّلَاةِ فِيْ هَذِهِ
السَّاعَةِ.
"Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam mengakhirkan sholat 'Isya sampai mendekati pertengahan malam.
Maka keluarlah 'Umar lalu berkata : "Wahai Rasulullah, para perempuan
dan anak kecil telah tidur'. Maka keluarlah beliau dan kepalanya masih
meneteskan air seraya berkata : "Andaikata tidak memberatkan umatku atau
manusia maka saya akan memerintahkan mereka untuk melakukan sholat
('Isya) pada waktu ini".".
Berkata Ibnul Mulaqqin dalam
Al-I'lam 2/292 : "Dalam (hadits ini) menunjukkan tidak ber-tansyif
(menyeka air dari anggota tubuh) karena andaikata beliau shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam ber- tansyif niscaya kepalanya tidak
meneteskan air dan tidak seorangpun yang berpendapat bahwa ada perbedaan
antara kepala dan badan dalam hal tansyif ".
Adapun lafadz yang dipakai sebagian ulama tentang makruhnya hal tersebut yaitu lafadz dalam hadits Maimunah :
فَأَتَيْتُهُ بِحِرْقَةٍ فَلَمْ يًُرِدْهَا
"Maka sayapun memberikan kepada beliau secarik kain maka beliau tidak menginginkannya".
Maka dapat dijawab dari beberapa sisi :
a.
Sebagian rawi keliru dalam menetapkan lafadz ini dengan membacanya
فَلَمْ يَرُدَّ هَا yang benarnya adalah فلم يُِردْهَا .
Kata
Al-Hafidz Ibnu Hajar : Dengan di-dhomma awalnya dan dal-nya disukun
dari الْإِرَادَةُ dan asalnya " يُرِيْدُهَا " tetapi di-jazm-kan
dengan lam. Maka siapa yang membacanya di-fathah awalnya (ya`-nya) dan
di-tasydid dal-nya maka dia merubah dan merusak maknanya. Dan Imam
Ahmad meriwayatkan dari Affan dari Abu 'Awanah dengan sanad ini dan
diakhirnya beliau berkata :
فَقَالَ : هَكَذَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ لاَ أُرِيْدُهَا.
"Dan
dia berkata demikian dan memberikan isyarat dengan tangannya bahwasanya
dia tidak menginginkannya". (Lihat : Fathul Bary 1/376)
b.
Ini kejadian tersendiri dan kenyatan tertentu yang tidak boleh
diterapkan sebagai dalil secara umum. Apalagi memuat beberapa
kemungkinan seperti kemungkinan kotor, basah, merasa cukup dan tidak
perlu dan lain-lain. Wallahu A'lam.
c. Maimunah yang
memberikan kain kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam menunjukkan bahwa kebiasaan beliau setelah mandi adalah
menggunakan kain tapi dalam kesempatan ini saja beliau tidak memakainya.
Dari keterangan ini, boleh jadi hadits ini bermakna sunnah sebagai
kebalikan dari apa yang mereka pahami bahwa mamakai kain setelah mandi
adalah makruh.
Dan ini adalah pendapat Hasan Al-Basri, Ibnu
Sirin, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, Malik, dan lain-lain. (Lihat : Syarh
Sunnah : 2/15, Ihkamul Ahkam : 1/97, At-Tamhid : 2/276 dan Asy-Syarh
Al-Mumti' : 1/253).
5. Sudah cukup mandi dari
wudhu, maka barang siapa yang mandi dan tidak berwudhu. Maka sudah
terangkat darinya dua hadats, yaitu hadats kecil dan besar dan boleh
baginya untuk sholat sebagaimana firman Allah Ta'ala :
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
"Dan
(jangan pula dekati sholat) sedangkan kalian dalam keadaan junub
kecuali sekedar berlalu sampai kalian mandi". (QS. An-Nisa` : 43).
Kata
Ibnu Qudamah : dijadikan mandi itu sebagai puncak/tujuan dari larangan
untuk sholat, maka jika dia telah mandi wajib maka tidak terlarang lagi
baginya untuk sholat. Dan sesungguhnya keduanya yaitu mandi dan wudhu,
dua ibadah yang sejenis, maka masuk yang kecil kedalam yang besar
seperti umrah dalam haji (Lihat :Al-Mughny 1/289).
Kata Ibnu
Abdil Bar : orang yang mandi dari janabah jika dia belum berwudhu dan
menyiram seluruh badannya maka sungguh dia telah menunaikannya yang
wajib baginya, karena sesungguhnya Allah Ta'ala hanya mewajibkan kepada
yang junub mandi dari janabah tanpa wudhu dengan firmannya.
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
"Dan jika kalian junub, maka bersucilah". (QS. Al-Ma`idah : 6).
Dan
itu adalah ijma' tidak ada khilaf di kalangan para ulama mereka juga
sepakat tentang sunnahnya wudhu sebelum mandi mencontoh Rasulullah dan
karena wudhu tersebut membantu mandi dan lebih membersihkan padanya.
(Lihat : Al-Istidzkar 1/327-328 ).
Kata Imam Asy-Syafi'iy :
Allah mewajibkan mandi secara mutlaq, tidak disebut didalamnya sesuatu
yang dimulai dengannya sebelum sesuatu. Maka jika orang yang mandi itu
telah mandi (junub-pent), itu sudah cukup baginya dan Allah lebih tahu
tentang bagaimana yang Dia datangkan demikian pula tidak ada batasan
tentang air pada mandi janabah kecuali agar mendatangkan dengan
menyiram seluruh tubuhnya. (Lihat : Al-Umm 1/40, Al-Fath 1/360-361)
Kata
Imam Al-Baghawy : Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama dan
diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin
Umar mandi kemudian berwudhu, maka saya berkata padanya : wahai bapakku
bukankah cukup bagimu mandi dari wudhu ? Ibnu Umar menjawab : iya, akan
tetapi saya kadang-kadang memegang kemaluanku, maka saya berwudhu.
Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatho' 1/43 dan dishohihkan
sanadnya oleh Al-Arna`uth dalam ta'liqnya pada Syarh Sunnah 2/13. (Lihat
pula Majmu' Fatawa :21/396-397, 1/397, Al-Muhalla : 2/44).
6.
Tidak disyaratkan berwudhu lagi sesudah mandi janabah, karena Nabi
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam langsung sholat sesudah
mandi janabah tanpa berwudhu lagi, sebagaimana dalam hadits 'Aisyah :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ
وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَصَلاَةَ الْغَدَاةِ وَلاَ أَرَاهُ يُحْدِثُ
وُضُوْءًا بَعْدَ الْغُسْلِ
"Adalah Rasulullah shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam mandi janabah dan sholat dua raka'at
kemudian sholat shubuh dan saya tidak melihatnya berwudhu lagi setelah
mandi". (HR. Imam Abu Daud 1/172 no. 250).
Dan dari 'Aisyah :
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لاَ
يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ وَزَادَ ابْنُ مَاجَه : مِنَ الْجَنَابَةِ
"Adalah
Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam tidak berwudhu lagi
sesudah mandi. Dan ditambahkan oleh Ibnu Majah : Dari mandi janabah".
(HR. At-Tirmidzy 1/179 no. 107 dan berkata : Hadits ini Hasan Shohih dan
An-Nasa`i 1/137 no. 252 dan Ibnu Majah 1/191 no. 579 dan dishohihkan
oleh Syeikh Muqbil dalam Al-Jami' Ash-Shohih 1/548).
Kata
Imam An-Nawawy (Al-Majmu' 2/225) : Dan Ar-Rafi'i dan yang lainnya telah
menukil kesepakatan bahwasanya tidak disyariatkan wudhu dan
mudah-mudahan itu adalah ijma'.
Tapi perlu diingat bahwa
tidak perlunya berwudhu setelah mandi, bila dia meniatkan wadhu bersama
dengan mandi sebagaimana telah dimaklumi tentang wajibnya niat pada
setiap 'ibadah. Baca Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 5/326.
7. Disunnahkan untuk tidak kurang dari satu sho' (empat mudd).
Sebagaimana dalam hadits Safinah radhiyallahu 'anhu :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ وَيَتَطَهَّرُ بِالْمًدِّ
"Adalah
Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam mandi dengan satu sho'
dan berwudhu dengan satu mudd (ukuran dua telapak tangan normal). (HSR.
Muslim).
Dan dalam hadits Anas :
بِالصَّاِع إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
"Dengan satu sho' sampai lima mudd". (HR. Bukhary-Muslim).
Dan juga diriwayatkan dalam Shohih Al-Bukhary dari hadits Jabir dan 'Aisyah.
8. Dan boleh kurang dari satu sho'.
Hal ini juga ditunjukkan oleh banyak hadits diantaranya :
a. Hadits 'Aisyah
كُنْتُ
أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ يَسَعُ ثَلاَثَةَ أَمْدَادٍ وَقَرِيْباً
مِنْ ذَلِكَ
"Saya mandi bersama Rasulullah shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dari satu bejana memuat tiga mudd atau
sekitar itu". (HR. Muslim).
b. Hadits 'Aisyah yang lain :
كُنْتُ
أًغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِيْنَا فِيْهِ مِنَ
الْجَنَابَةِ
"Saya mandi janabah bersama Rasulullah
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dari satu bejana dan tangan
kami berebutan didalamnya". (HR. Bukhary-Muslim).
c. Hadits Ibnu Abbas :
أَنَّ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُوْنَةَ كَانَا يَغْسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
"Sesungguhnya
Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Maimunah keduanya
mandi dari satu bejana". (HR. Bukhary-Muslim).
9. Tidak boleh dan tercelanya berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi junub.
Hal
ini dtunjukkan oleh hadits Abdullah bin Mughoffal dengan sanad yang
shohih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah shollallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطََّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ
"Sesungguhnya akan ada pada ummat ini suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo'a".
Wallahu A'lam wa Ahkam.
[1] Ini adalah kinayah dari melakukan hubungan suami-istri.
[2] Pada sebagian riwayat ada lafazh perintah tapi ada kelemahan dari sisi sanadnya.
sumber: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=640